Malam itu kembali lagi. Setelah terkubur di dalam bayangan hitam masa lalu dua tahun silam. Aku pikir percikan itu telah padam, mati dibawah derasnya hujan akan masa depan. Tapi ternyata tidak, masih disitu. Menyala bagaikan matahari di bulan Juni.
Aku, dia dan tiga teman lainnya berjalan pulang terhuyung angin dan alkohol setelah acara mengobrol santai dengan teman lama berakhir dengan sedikit lebih banyak tegukan bir. Malam itu seharusnya berakhir pada gelas bir kedua, satu setengah jam yang lalu. Tapi sampai sekarang dia masih berada disampingku, dengan percikan itu dan semua berlebur bersama buih-buih intuisi untuk menjamah tangan itu untuk menuntunku lurus, bahu itu untuk menyandarkan kepalaku yang semakin lama semakin berat, dan bibir itu...
Namun perlahan langkah kita melambat. Satu blok lagi aku akan sampai pada rumahku. Seakan mencuri detik-detik terakhir untuk bisa berdua dalam dinginnya malam di awal musim semi, dibawah remangnya lampu jalan dia merapatkan badannya padaku sampai aku terpojok dan bersandar lemas pada mobil yang parkir di pinggir jalan. Pada saat itu jarak kita semakin dekat. Terlalu dekat. Kedua tangannya mengunciku diantaranya. Hanya bibir itu yang ada dikepalaku. Setengah jengkal lagi, lidahnya dapat beradu dengan lidahku, menari di dalam mulutku.
Tapi aku terhenti. Bayangan itu hilang seraya aku menolehkan kepalaku menjauh darinya dengan elusan akal sehat. Sekarang aku dapat merasakan nafasnya berhembus pada leherku. Hangat. Dengan irama tertatih akan deru jantungnya. Aku dan dia tahu betapa salahnya semua ini. Ini tidak seharusnya terjadi. Dan disaat yang sama betapa aku menginginkan dia, pada detik itu, seutuhnya, dengan semua yang ada didalamku menjerit akannya.
Tapi pandanganku kini tertuju pada jemari tangan yang mengunciku diam, ya, jari manisnya — alasan kenapa aku tidak bisa memilikinya dari awal. Cincin itu. Menandakan kalau dia bukan milikku. Tapi tunangannya.
No comments :
Post a Comment