Aku dan dia duduk berhadapan, dia tampak lelah, kantung matanya memberatkan tatapan dia yang tajam, sayu. Seperti aku. Tapi, setidaknya dia tampak lebih bersinar. Di matanya masih ada harapan. Kita berdua berada pada umur dimana konflik batin tidak luput dari agenda sehari-hari. Setiap hari, hampir setiap waktu. Dimana definisi benar dan salah selalu di pertanyakan. Ketika moral yang seputih kapas itu rasanya ingin di lepaskan.
"Semua dimulai dari situ nggak sih, Fiya?" Dia bertanya setelah aku menceritakan pikiranku. "Dari hal-hal kecil. Bohong sedikit, kamu bilang. Nanti lama-lama kamu bohong terus sampe kamu ngga mau balik lagi untuk jujur." Dia terus nyerocos. "Ini yang bikin dunia kotor." Katanya sambil menghembuskan napas kecil. Akhirnya dia berhenti sejenak. Giliran aku yang berbicara dengan tatapan tanpa tujuan, "Tapi kan dunia emang udah kaya begitu. Kotor. Banyak yang bohong, banyak yang curang." Suaraku terdengar pasrah, kalah, tanpa gairah, bahkan bagiku sendiri.
"Iya," Dia terdengar sabar, "Tapi siapa yang waktu itu pernah bilang kalo tujuan hidupnya dia pengen ngubah dunia jadi tempat yang lebih baik?"
Aku terdiam. Aku tahu siapa yang dia maksud.
Lalu dia melanjutkan kalimatnya, "Kalo orang yang bilang itu aja ngga mulai dari dirinya sendiri, gimana mau bikin dunia jadi tempat yang lebih baik?"
Aku berhenti bertanya. Dia ada benarnya juga, gumamku dalam hati. Lalu aku berdiri dari duduk ku dan pergi. Dia pun juga mengikutiku, meninggalkan refleksi matahari pagi sendiri pada cermin itu.
No comments :
Post a Comment