Pagi itu hujan. Aku sayup-sayup mendengar dari jendela kamar ditengah tidurku. Pagi itu juga, tidak lama setelah hujan reda dan akhirnya berhenti, aku mendapat kabar Kakek telah tiada.
Aku sedang duduk di dekat balkon, melihat Jakarta yang basah dari lantai 17 apartemen. Rasanya seperti mimpi. Adikku duduk di sofa, setengah linglung sambil memegang handphone di tangannya yang baru saja terdengar isak tangis kecil dari Ibu di ujung telfon.
Bukan mimpi indah atau buruk. Hanya seperti, kamu tahu, sesuatu yang tidak nyata. Coba dengarkan lagu Efek Rumah Kaca, judulnya "Putih". Aku tidak bisa bicara banyak, namun, jika kamu berkenan, coba dengarkan lagu itu. Itu bagaimana rasanya pagi itu.
Usai. Cerita Kakek sudah usai. Namun, hasil cerita sepanjang perjalanannya telah menyentuh banyak orang, terpampang jelas dari jumlah karangan bunga yang sudah memenuhi pekarangan dan jalan di sekitar rumah Nenek dan Kakek di Pejaten ketika aku datang dengan terburu-buru.
Walaupun tidak mudah menggabarkan apa yang ku lihat pada saat itu, tapi kurang lebih, jika aku harus, aku akan menggunakan satu analogi: dulu, ketika aku melihat kelompok musik favoritku, Timmy pernah bilang, bahwa aku, dan ratusan penonton lainnya, terlihat sangat tenang menikmati alunan lagu. Aku tidak tahu jelas apa maksud Timmy, tapi pada saat itu, sepertinya aku bisa mengerti. Ya, aku pikir, hanya pada saat seseorang penggemar melihat kelompok musik favoritnya, seseorang akan terlihat tenang.
Pagi itu, saat kami sekeluarga membasuh Beliau sebelum ke peristirahatan terakhirnya, aku baru pertama kali melihat seseorang tampak benar-benar tenang dan damai.
Malam ini hujan turun lagi.
Selamat jalan, Kakek tersayang.
No comments :
Post a Comment