Dialog Dengan Malaikat


Originally published on Medium

Dulu, aku mengutuk kepulanganku ke Ibu Kota. Secara diam-diam, aku menyalahkan nasib. Aku mengutuknya karena aku sudah terlanjur jatuh cinta kepada kota kecil di tanah Ratu Elizabeth itu. Dimana rasanya empat tahun melebih 18 tahun. Dimana aku merajut awal dari masa masa menemukan apa itu sesungguhnya arti dari matahari dan cinta. Aku pikir, kepergianku adalah akhir dari suatu cerita cinta. Namun, ternyata aku salah.

Aku hanya sudah terlalu lama lupa.

Tuhan mengingatkanku melalui datangnya kembali sosok pria dari ujung jalan Masa Lalu yang hampir terbenam dalam kenangan masa SMA. Namanya Timothy, panggilannya Timmy. Dari nama dan tajamnya lekuk rahangnya, bisa di lihat dia tidak berasal dari pulau Jawa. Tetapi, tata bahasanya sehalus orang Solo.
Dia menyapa kembali dengan kehangatan yang sama sambil membawa buku berwarna merah di tangannya. ‘Judul buku ini mengingatkan aku padamu,’ Bidadari Yang Mengembara karya A.S Laksana. ‘Baca ya.’ Aku tersenyum dan menyeselesaikannya kurang dari dua hari.

Tidak lama setelah itu, tepatnya hanya selang beberapa minggu, pada suatu malam Sabtu yang penuh tawa di suatu kedai kopi di Cikini, aku menemukan sesuatu. Di tengah menu-nya tertertera puisi pendek dari Sapardi Djoko Damono, judulnya Aku Ingin. Lapisan laminating menu itu sudah lusuh, entah berapa ratus tangan pernah dengan asal melipat, atau meremas, kertas itu. Namun diatas kertas merah marun diketik dengan tinta putih, puisi itu tetap terlihat hidup. Pernahkah kamu membaca puisi itu? Akan aku bacakan sepenggal baitnya:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku tersedak dan langsung menaruh menu itu kembali ke meja. Dengan terburu buru aku mengambil telfon genggamku lalu menggerutu kesal kepada Timmy.


Sudah pernah baca Aku Ingin? Bagaimana caranya seseorang bisa menulis puisi seindah itu?

Bukannya aku sudah pernah bilang? Kamu baru baca?

Iya. Gila! Kata yang diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu?
Kok bisa saja terpikir apa yang dikatakan kayu ketika dia sedang terbakar?

Ya, hanya orang-orang yang sering berdialog dengan malaikat
yang tahu, dan bisa, cara menulis seperti itu.


***

Disitu aku tersadar, bahwa kepulanganku ke Ibu Kota bukan kutukan, tapi berkat. Aku hanya terlalu lama lupa pada keindahan Ibu Pertiwi dan bahasanya. Aku hanya butuh di ingatkan kalau ini bukan akhir dari cerita cinta, tapi awal dari perjalanan aku mencintai Sastra. Sastra Indonesia.

Dan semoga saja juga untuk berdialog dengan malaikat.


3 comments :

Maria Inta said...

Saya sangat jatuh cinta dengan tulisan ini, kak. Jujur. Karena tulisan ini saya juga jadi ingin bisa berbicara dengan malaikat :')

Fiya Muiz said...

Terima kasih, Maria. Semoga suatu hari nanti ya! Untuk sementara, mungkin baca terus tulisan mereka yang sudah pernah, seperti Sapardi Djoko Damono atau M. Aan Mansyur. Semoga suka!

HiToplay said...
This comment has been removed by a blog administrator.